MAKASSAR TIDAK KASAR - Benarkah anggapan
orang-orang di luar Sulawesi bahwa orang Makassar itu kasar-kasar baik dari segi
bahasa maupun perangai mereka? Apakah kekasaran itu akrab dengan orang-orang Makassar?
Awalnya saya
merasa ragu untuk memposting tema ini. Mengingat beberapa hari belakangan ini
terjadi bentrokan antar mahasiswa di salah satu PTN di
Makassar. Gempuran media
yang menyorot fenomena bentrokan dan aksi anarkis yang dilakukan oleh para
mahasiswa semakin memperparah
image negatif
masyarakat Indonesia tentang Makassar dan orang-orangnya yang katanya “Kasar”.
Tapi saya sebagai orang Makassar mempunyai kewajiban untuk meluruskan hal ini dan
mengubah cara pandang mereka.
Pandangan dan
pendapat negatif orang di luar Sulawesi tentang Makassar memang benar adanya.
Pengalaman saya waktu merantau di luar Sulawesi,
salah seorang teman saya dari suku lain mengatakan seperti ini kepada saya “Nu,
katanya kaum lelaki di Makassar kalau kemana-mana bawa badik ya dan kalau marah
langsung nikam gitu”. Aku langsung heran dengan pernyataannya tersebut “Astagfirullah,
itu tidak benar. Kaum lelaki kami tidak seperti itu, biasa saja sama seperti
kalian. Lagipula kalau zaman sekarang bawa senjata tajam bisa ditangkap polisi”.
Ada lagi
pengalaman dari Ibu saya. Waktu itu beliau berada di pesawat dari Jakarta menuju
Makassar. Beliau duduk berdampingan dengan seorang anak muda yang kelihatan
gelisah dan ketakutan. Ibuku pun bertanya
“Dik, kenapa?
sakit ya? Kok gelisah gitu”.
“Tidak bu, saya
cuma cemas saja ini pertama kalinya saya ke Makassar?”
“lalu apa yang
adik cemaskan?”
“Begini bu,
dari perusahaan saya di pindah tugaskan ke Makassar, lalu teman-teman saya yang
sudah pernah ke Makassar bercerita bahwa di Makassar tuh orangnya
beringas-beringas, kemana-mana bawa badik dan parang. Dan kalau marah langsung
menikam dan menebas. Selain itu katanya susah cari makanan halal, disana
orang-orangnya makan babi.”
“Astagfirullah,
salah banget cerita teman-teman adik. Kami tidak seburuk yang kalian pikirkan. Di Makassar itu
mayoritas islam, sangat mudah mendapatkan makanan yang halal. Makanannya
enak-enak loh, ada coto Makassar, pallubasa, konro, serta berbagai makanan
laut. Dan orang-orang yang adik katakan tadi beringas, kemana-mana bawa parang
dan badik itu juga tidak benar. Perangai kami biasa saja, tidak seekstrem yang
kalian pikirkan. Mungkin intonasi suara kami agak keras tapi bukan berarti
marah atau kasar. Sama halnya seperti orang betawi dan orang batak”.
Sepanjang
perjalanan itu, ibuku bercerita hal-hal yang positif tentang Makassar dan
membuat kegelisahan pemuda tersebut perlahan sirna. Sampai di Bandara Sultan
Hasanuddin pemuda tersebut meminta tolong kepada Ibuku untuk di antar ke wisma
tempat ia menginap tapi sebelumnya pemuda itu ingin dibawa ke warung coto untuk
merasakan kelezatan coto Makassar. Selama di Taxi pemuda tersebut memperhatikan
situasi kota Makassar, ternyata tidak seperti yang terdoktrin di pikirannya,
tidak ada kaum lelaki yang membawa badik atau parang yang siap menikam dan membacok
siapapun. (hehehhe…. Mungkin di alam pikirannya orang-orang Makassar masih primitif
ya)
Persepsi kasar
tersebut mungkin tercipta karena kesalahpahaman akan kata “Makassar”. Makassar berasal
dari kata “
Mangkasarak”. Orang-orang memahami bahwa
Mangkasarak mempunyai arti
orang yang mudah tersinggung. Tapi pemahaman itu salah. Mangkasarak mengandung
arti memiliki sifat besar (mulia) dan terus terang (jujur). Sejarah tentang
asal kata Makassar silakan baca
disini.
Persepsi negatif juga disebabkan karena pemberitaan media yang terlalu berlebihan tentang tauran antar mahasiswa. Jadi seakan-akan orang-orang Makassar itu tukang berantem. Karakter orang Makassar yang cepat panas, spontan, dan kritis memang sangat mudah diprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sebenarnya karakter seperti ini bisa dibawa ke hal yang positif. Kakak ipar saya seorang kepala cabang di salah satu BUMN di Makassar berbagi pengalaman. Karakter orang Makassar yang cepat panas, spontan, dan kritis dia manfaatkan untuk meningkatkan kinerja karyawannya. Caranya dengan manajemen konflik, masing-masing departemen saling mengkritisi satu sama lain. Tentunya hal ini membawa dampak yang bagus karena tidak ingin di protes, masing-masing departemen bekerja secara
perfect. Wal hasil kinerja meningkat , omzet perusahaan pun meningkat.
Saya keturunan
bugis, tapi lahir dan besar di kota Makassar. Saya lebih fasih berbahasa Makassar
di banding bahasa bugis. Dan saya paham karakter orang Makassar. Memang orang Makassar
itu cepat panas, cepat naik pitam tapi mereka akan marah jika hal tersebut
sangat menyinggung harga diri atau siri’ baik itu harga dirinya sendiri,
keluarga, teman, suku, dan bangsanya dan karena itulah orang-orang Makassar dikenal
dengan keberaniannya. Kami orang Makassar sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
kekeluargaan dan musyawarah.
Oh.. ya.. ada
satu hal lagi yang perlu saya jelaskan tentang pandangan orang-orang di luar Sulawesi
bahwa “menikah dengan cewek asal Bugis-Makassar itu sangat mahal”, jual anaklah
katanya. Memang harus diakui bahwa menikah dengan cewek asal Bugis-Makassar itu
butuh biaya lebih. “Maharnya terlalu tinggi”. Maaf bukan mahar tapi uang panai’. Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Sedangkah panai’ adalah uang yang diberikan pihak
calon suami kepada calon istri untuk mengadakan pesta dan ritual adat lainnya. Dan
karena itulah yang menyebabkan membengkaknya biaya pernikahan karena pesta dan
ritual adat adalah hal yang wajib. Uang panai’ itu digunakan untuk sewa gedung,
tenda, buat undangan, sewa lamming, sewa baju pengantin, sewa kursi, hidangan
makanan pada waktu mappaccing, menikah, mapparola, acara resepsi dan masih banyak lagi yang lain (ribet
pokoknya).
Mahal kah??? Saya rasa tidak. Berkorban untuk wanita tercinta dan memeriahkan moment sekali dalam seumur hidup serta tetap melestarikan adat istiadat yang ada, itu sah-sah saja dan merupakan bayaran yang pantas. Betul tidak....
Semoga dengan
tulisan saya ini bisa mengubah persepsi anda tentang Makassar – Kami tidak
kasar.
Btw, bukan cuma Makassar loh yang Mahasiswa dan anak mudanya sering tauran. Di Daerah lain juga sering terjadi tauran dan aksi anarkis. So... jangan hanya mencap orang Makassar saja yach....