Cerita tentang Indahnya Toleransi




Halo teman-teman semua,

Sudah bulan Agustus saja nih, hawa-hawa menyambut hari Tujuh Belas Agustus semakin terasa. Yup, apalagi yang ikutan nge-war untuk daftar upacara bendera di Istana Merdeka terasa banget antusiasme masyarakat Indonesia untuk ikut merayakan hari kemerdekaan. Sayang sekali, saya sudah berusaha daftar tapi tetap tidak kebagian. Ya sudahlah, belum rezeki ya! Mungkin nanti bisa ikutan kalau upacara benderanya di IKN heehee...

Forget for a moment my failure to hunt for an invitation to the independence ceremony
Kembali ke laptop! Postingan kali ini saya ingin sharing tentang TOLERANSI. 

Seperti kita semua ketahui, Indonesia akan berulang tahun yang ke-78. Ibaratnya manusia, usianya sudah kakek-kakek ya, dengan umur segitu tentunya manusia akan semakin matang dan bijak. Indonesia adalah sebuah negeri yang tak ada duanya. Negeri yang amat sangat kaya. Kaya akan sumber daya alam, tanah dan lautannya membentang dari timur ke barat dan tentunya dengan pemandangan yang sangat indah, penuh dengan keberagaman mulai dari agama, suku, etnis, bahasa, budaya, adat istiadat, kuliner, dan sebagainya. Hebatnya kita mampu menjaga kebhinekaan itu dan hidup damai berdampingan satu sama lain. Bhineka Tunggal Ika, sebuah semboyan yang selalu ditanamkan kepada seluruh rakyat indonesia sebagai landasan persatuan dan kesatuan. Bangga dengan Indonesia!   

Tentunya hal ini terjadi karena sikap toleransi dari seluruh rakyat Indonesia. Pengertian toleransi secara luas oleh Wikipedia adalah suatu perilaku atau sikap manusia yang "tidak menyimpang dari hukum berlaku" di suatu negara, dimana seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan orang lain selama masih dalam batasan tertentu. 

Konon katanya, sejak Pemilu 2019 sikap toleran masyarakat Indonesia mulai tergerus. Apakah benar seperti itu?
Berdasarkan hasil survei dari Litbang Kompas, sebanyak 62,2% responden menilai masyarakat Indonesia cukup toleran, 10,4% responden menilai masyarakat Indonesia sangat toleran, 18,7% responden menilai tidak toleran, 4,3% responden meniliai sangat tidak toleran, dan 4,4% tidak tahu.

Dari survei dapat dilihat bahwa persentasi sikap toleran masyarakat Indonesia masih terjaga. Eitss.. jangan merasa jumawa dulu, kalau di total sikap tidak toleran 23%, itu nilai yang cukup besar bukan dan patut diwaspadai. Menurut survei dari Litbang Kompas, persentase terbesar penyebab tergerusnya rasa toleransi masyarakat Indonesia karena maraknya penyebaran hoaks di internet dan sosial media sebesar 37,6%. 

Saya tipe yang gemar membaca komentar netizen ketika ada sebuah postingan di media sosial. Kalau baca komentar para netizen atau mungkin mereka buzzer penebar kebencian, Ya Allah saya banyak-banyak istigfar biar ga emosi sambil dalam hati berkata, mereka mau ya di bayar untuk hal seperti ini. Mereka apa ga mikir panjang dampaknya akan seperti apa, yang penting dapat cuan... cuan... cuan...

Apakah sikap intoleran di dunia nyata segaduh di dunia maya?
Saya rasa tak seseram itu. Toleransi di kehidupan nyata masih aman terjaga.

Depend on my life experience, sejak kecil saya sudah diajarkan untuk bertoleransi terhadap orang yang berbeda suku, agama, etnis, adat dan budaya. Let me share my stories and experiences of tolerance. 

Didoakan oleh Pendeta dan Jamaat-nya

Based on my mom story. Ketika masih bayi, saya sudah menjalani berbagai macam operasi. Waktu itu di rumah sakit tempat saya dioperasi, Ayah saya bertemu dengan orang Papua yang baru saja mengalami kecelakaan. Tahun 80-an, belum secanggih sekarang, jika ada musibah bisa langsung menghubungi sanak saudara. Di masa itu, boro-boro smartphone, telepon rumah pun masih jarang. Akhirnya Ayah menawarkan bantuan untuk menemui sanak sodara korban kecelakaan tersebut. Kebetulan korban memiliki saudara di Makassar, tepatnya di daerah Daya. 

Singkat cerita, korban berhasil bertemu dengan saudaranya di rumah sakit. Saudara korban ternyata adalah seorang pendeta. Sebagai ungkapan terima kasih kepada Ayah saya, sang pendeta ingin mendoakan saya sebelum menjalani operasi. Setelah orang tua saya berkonsultasi dengan saudara yang lebih paham tentang agama, mereka pun mengizinkan agar saya didoakan oleh pendeta tersebut bersama beberapa jamaatnya.   

Didoakan oleh Bos Non Muslim

Sebelum resign dan merantau ke Jakarta untuk berkarir sebagai ASN, saya bekerja sebagai karyawati di salah satu perusahaan ekspedisi peti kemas. Ownernya sangat baik, terus terang saya betah bekerja disana. Di hari terakhir saya bekerja, sebelum pulang, bos saya ingin mendoakan saya. Saya merasa terharu, baru kali ini saya resign dari perusahaan dan bosnya dengan ikhlas hati melepas saya dengan doa. "Nunu, berdoa sesuai keyakinanmu, saya berdoa sesuai keyakinan saya" kata beliau. 

Masha Allah, indahnya toleransi!

Terkait hukum dalam Islam jika didoakan oleh non muslim, silakan cari di Google ya. Sejauh yang saya tahu boleh-boleh saja, tetapi ada syarat-syaratnya.

Berteman dan Bergaul dengan Teman-Teman Non Muslim  

Meskipun saya penyandang disabilitas, orang tua saya tak pernah menyembunyikan. Justru saya diajari bersosialisasi sejak dini, sering dibawa kemana-mana termasuk ke sekolah tempat Ibu mengajar. Ibu saya mengabadi selama 18 tahun di TK Katolik Santa Maria. Sekitar usia 3-4 tahun saya sudah bergaul dengan anak-anak non muslim dan ikut juga masuk ke kelas. Secara tidak langsung ibu saya mengajarkan toleransi dan inklusivitas kepada saya dan anak didik-nya.

Beranjak dewasa dan merantau, bertemu dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang membuat pergaulan saya lebih beragam. Teman main dan teman dekat saya ada beberapa yang non muslim.

Apakah ada masalah?
Tentu tidak, justru disanalah saya bisa merasakan indahnya toleransi. Misalnya ketika jalan ke mall bareng, ketika waktunya sholat teman saya dengan senang hati menemani hingga di depan mushola dan menunggu sampai kelar sholat.

Atau jika kami jalan di hari Minggu, teman saya punya jadwal ibadah sore, tentunya saya tidak menghalanginnya dong untuk ke gereja. 

Jika kami menginap sekamar di hotel, kami saling bertoleransi ketika saya akan sholat/baca Al-Quran ataupun ketika teman saya akan berdoa pagi, membaca Al-Kitab ataupun mendengarkan lagu rohani.

Kalau bagi saya, toleransi terhadap hal-hal tersebut tidak masalah karena mendengarnya pun Insya Allah tidak akan mengurangi rasa keimanan saya terhadap Allah SWT dan Rasulnya. Semoga Allah terus menjaga keimanan dan keislaman saya.

Yang aneh adalah ada sebagian kecil dari masyarakat Indonesia yang anti ataupun merasa terganggu dengan rutinitas ibadah atau rohani agama lain. Bahkan ada yang lebih fanatik lagi, memblok lingkungannya agar tidak ada agama lain selain agama mereka yang tinggal disana. Ada rasa takut, khawatir, dan curiga berlebihan.

Justru menurut saya ketika kita mengaku beriman dan taat dengan agama yang dianut tentunya harus dibarengi dengan sikap toleransi terhadap orang yang berbeda agama dengan kita. Rasulullah saja memberikan teladan kepada kita tentang cara bertoleransi. Mengapa kita tidak mencontohnya? 


Berada di Lingkungan yang Berbeda Suku dan Adat Istiadat

Saya asli Bugis, meskipun begitu di keluarga besar saya cukup beragam dan open minded. Tidak seperti orang Bugis zaman dulu dimana harus menikah dengan sesama orang Bugis bahkan sesama sepupu juga dinikahi. Hal ini dilakukan katanya biar darahnya tidak bercampur dan hartanya tidak jatuh ke orang lain.

Orang tuaku membebaskan kami anak-anaknya menikah dari suku manapun, tidak harus dari suku yang sama. Wal hasil adik pertama saya menikah dengan perempuan berdarah Bugis Jawa, dan adik bungsu saya menikah dengan perempuan berdarah Jawa. Ayah sambung saya juga berasal dari suku melayu Belitung. 

Ketika adik-adik saya menikah, terjadilah akulturasi budaya. Pestanya memakai adat Bugis, Jawa, dan Belitung. Seru loh!

Pada waktu saya syukuran rumah di Bojong Gede, ibuku menyarankan agar melaksanakan syukuran sesuai dengan adat dan budaya penduduk setempat. Yang tentu saja acara syukurannya agak berbeda dengan adat di Makassar, dan saya melakukan saran tersebut. 

--------

Cukup buka mata, buka hati, buka tanganmu, dan saling bergenggaman. Berbeda bukan untuk saling bermusuhan, meskipun berbeda kita tetap bisa berjalan beriringan. 

Itu cerita pengalaman saya akan toleransi. 
Kalau kamu, bagaimana?

 


13 comments

  1. sedih rasanya sekarang ini banyak yang menggunakan isu sara untuk membenturkan umat beragama. Padahal jika saling toleransi, selain kedamaian hidup didapatkan juga banyak manfaat yang didapatkan

    ReplyDelete
  2. Indahnya toleransi..jika semua saling menghargai dan menghormati betapa indah hidup ini. Setuju Mba Nunu. Saya yang asli Jawa Timur pun mengalami sendiri dikelilingi orang baik dari suku , agama, ras, bangsa yang berbeda...selama pernah tinggal di Bali, Medan, Singapura, Amerika dan Jakarta. Alhamdulillah

    ReplyDelete
  3. Pengalaman kita hampir mirip, Mbak Nunu. Sejak kecil teman saya juga banyak yang beda agama. Kita baik-baik saja dan senantiasa rukun. Malah, setelah usia remaja baru sadar adanya pengkotak-kotakan berdasarkan suku atau agama. Aneh-aneh aja.

    ReplyDelete
  4. Betul sekali mba Nunu, kehidupan nyata tak seseram kehidupan Maya. Mungkin karena masih ada rasa sungkan ya kalo berhadapan. Seandainya semua orang punya sikap toleransi yg luas, pasti dunia ini aman damai, hihi. Btw mba Nunu, selamat yaa untuk rumah barunya.

    ReplyDelete
  5. Wah, indah banget pengalaman toleransi Mbak Nunu. Kalau saya pernah berteman dengan teman SD yang berbeda keyakinan, tetangga depan rumah saya juga, sepupu mama juga dan teman suami saya banyak juga yang non muslim.

    ReplyDelete
  6. Keberbedaan memang harus diikuti dengan toleransi biar damai. Da emang ngerasa tentram aja ya mba kalau pas temenan sama yg di luar suku atau agama kita terus mereka jg merespon baik sama kt

    ReplyDelete
  7. Saya pribadi tinggal di lingkungan yang berbaur sejak kecil. Entah mengapa sejak SMP sampai kuliah teman dekat saya sering kali non muslim. Sampai akhirnya tinggal di lingkungan khusus muslim. Yang saya pahami, orang tua muslim bukan intoleransi tetapi ingin menerapkan adab-adab islami sejak dini, namun mungkin masih terbatas ilmunya terkait bagaimana cara agar anaknya dapat berbaur dengan non muslim tanpa harus ikut-ikutan.

    ReplyDelete
  8. MasyaAllah semoga toleransi itu tetap ada ya. Saya pernah wawancara dengan bedande di Pura yang ada di daerah Kenjeran. Beliau sangat menerima saya, menjawab semua pertanyaan saya tentang budaya mereka meskipun saya berhijab

    ReplyDelete
  9. insightful banget mba
    asyik klo mb Nunu bikin artikel kyk gini.
    utk bahan kontemplasi

    ReplyDelete
  10. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam adalah teladan yang telah banyak mengajarkan kita akan sikap toleransi. Masya Allah

    ReplyDelete
  11. Masya Allaa~
    kak Nunuu...ceritanya menginspirasi. Memang kalau di masyarakat tuh pastinya ada yang namanya gesekan. Maksudnya, beda agama, ras dan golongan. Semoga setiap niat baik kita menjadikan kita semua mampu membaur dimana tempat kita berpijak, disitu bumi dijunjung.

    ReplyDelete
  12. masyaAllaah jadi keinget dulu pas SMA sempet masuk kelas campuran (muslim dan nonmuslim) jadi punya banyak sahabat yang non muslim, main bareng, pas ibadah pisaah, haha seruu sih

    ReplyDelete
  13. Bersinggungan secara damai memang indah ya kak, alhamdulillah orang tua kami juga mengajarkan demikian. Bahkan aku yang bersuku jawa juga menikah dengan suku Jambi asli kerinci.

    ReplyDelete

Silakan Berikan Komentar, Saran, dan Kritik Untuk Postingan Ini, yang sopan ya ^^ dan please jangan spam