Dua
Puluh Tiga Tahun yang Lalu
Sang
mentari bersinar terang kala itu, merangkak naik, memancarkan teriknya. Panas,
tapi tak menyurutkan semangat manusia untuk beraktifitas. Terik surya bagai
berada diatas ubun-ubun bukan penghalang untuk terus berjuang demi hidup yang
lebih baik.
Aku
dan Tina turun dari pete-pete
angkutan umum khas kota daeng. Tiba tepat di depan gerbang sebuah sekolah
kejuruan. Kami ABG (Anak Baru Gede) tanggung yang baru saja lulus SMP dan kami sedang
mencoba peruntungan untuk mendaftarkan diri ke beberapa sekolah menengah
terbaik di kota kami, Makassar. Kami melangkah maju, terlihat anak-anak seusia
kami bergerombol di depan loket pendaftaran. Mereka juga membawa map berisi
berkas-berkas yang dibutuhkan untuk pendaftaran, “saingan semua nih” kataku
dalam hati. Beberapa menit kemudian mereka bukan sainganku lagi.
Kami
ikut menunggu di depan loket untuk menunggu giliran. Seorang lelaki menyapa aku.
Tampangnya lebih dewasa dan berpakaian rapi layaknya pegawai kantoran. “Dik,
bisa minta waktunya sebentar? Sapanya ramah. “Iya, pak” Jawabku, agak kaget
karena disapa dengan orang yang belum pernah ku kenal sebelumnya. “Kepala
Sekolah ingin bicara, yuk ikut aku” Ajak pria tersebut. Aku agak awas dan
deg-degan. Aku mengikutinya, berjalan menyusuri selasar-selasar yang perlahan
mulai sepi dari keramaian para calon siswa. Sepanjang jalan aku bertanya-tanya ada apa gerangan? Aku belum menjadi murid
sekolah ini, kenapa aku sudah dipanggil ke ruangan kepala sekolah? Apakah aku
ada salah?
Pria
tersebut membuka pintu sebuah ruangan, aku ikut melangkah masuk. Aku belum
pernah melihat ruangan kepala sekolah seluas itu, sofa tiga seat dan satu
seat berada di sebelah kiri pintu, meja kerja kepala sekolah di
seberangnya, dan lemari-lemari arsip berisi file bantex dan lemari pajangan
berisi piala dan piagam menghiasi dinding-dinding ruangan tersebut. Kepala
sekolah tersenyum ramah kepadaku dan mempersilahkan aku duduk di sofa. Saya pun
duduk.
Bapak
kepala sekolah tersebut sedikit berbasa-basi menanyakan beberapa hal tentang
asal sekolahku, tinggal dimana dan bla…bla…bla… Kemudian beliau menerangkan
tentang keunggulan-keunggulan sekolahnya. Beberapa menit kemudian baru mulai
masuk ke inti pembicaraan. “Begini, kami tidak bisa menerima kamu bersekolah
disini”. Ungkapnya. “Kenapa pak?” tanyaku penasaran, rasanya bagai disambar
petir. Ternyata ini maksudnya aku dipanggil ke ruangan beliau. “Kami disini
punya mata pelajaran komputer dan mengajarkan mengetik cepat sepuluh jari.
Mohon maaf sebelumnya, melihat keterbatasan fisik yang kamu miliki kami takut
nanti ketika proses belajar mengajar kamu terkendala dengan pelajaran tersebut”
Bapak kepala sekolah mulai memperjelas maksud penolakannya. Hatiku mulai
bergemuruh. “Tahun lalu kami mencoba menerima penyandang disabilitas. Dia sama
seperti kamu, jari-jari tangannya kurang lengkap. Tetapi karena dia kurang bisa
mengikuti pelajaran tersebut akhirnya dia keluar dari sekolah ini”. Sambungnya.
“Kami tidak ingin hal yang sama terjadi lagi, jadi sebaiknya kamu coba cari
sekolah lain saja ya”. Emosiku mulai memuncak, antara marah, kecewa, sedih, dan
mencoba untuk kuat di depan Bapak kepala sekolahnya. Aku tak bisa berkata-kata,
suaraku tercekat di tenggorokan karena menahan amarah dan tangis.
Keluar
dari ruangan kepala sekolah, aku kembali menuju loket pendaftaran menghampiri
Tina. Dia sudah selesai mengembalikan formulir dan berkas pendukung lainnya.
Tina bertanya kenapa aku dipanggil, aku tidak menjawab. Kami berjalan keluar
gerbang meninggalkan para sekumpulan remaja yang kini bukan saingan aku lagi, aku
kalah telak, kalah sebelum memulai pertarungan.
Kami
kemudian menaiki pete-pete, menuju salah satu SMA negeri yang juga
menjadi target pendaftaran kami. Barulah diatas pete-pete itu tangisku
meledak, sudah tidak bisa tertahankan lagi. Aku menangis sejadi-jadinya, aku
tak peduli lagi dengan penumpang lain yang melihat. Aku menceritakan kepada
Tina semua pembicaraan di ruangan tersebut. Dia mencoba menenangkan dan memberi
semangat.
Roda
Kehidupan Terus Berputar
Luka
itu masih tetap ada hingga saat ini. Aku sakit hati, iya tentu saja! Marah,
pasti! Tetapi diskiriminasi dan penghinaan yang aku alami tidak membuat aku down
dan patah semangat hingga tidak ingin bersekolah lagi. Aku memilih memeluk luka
itu dan mencoba memaafkan, menjadikannya energi untuk terus bertumbuh. Luka
masa lalu tersebut menjelma menjadi motivasi untuk melawan berbagai stigma
penyandang disablitas.
Ditolak
masuk sekolah menengah kejuruan, aku akhirnya lulus di salah satu SMA Negeri di
Makassar. Alhamdulillah, di sekolah tersebut aku mendapatkan guru dan
teman-teman yang baik. Selepas SMA, aku melanjutkan kuliah Diploma Tiga di
salah satu kampus swasta di Kota Makassar dan mengambil jurusan Manajemen
Informatika. Kenapa aku ambil jurusan itu? Pertama, karena sejak SMP aku memang
selalu menyukai pelajaran komputer dan nilaiku selalu memuaskan di mata
pelajaran tersebut. Kedua, aku ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa aku
juga pandai mengoperasikan komputer meskipun kondisi jari jemariku tak
sempurna. Komputer bukan hanya tentang mengetik cepat, terlalu picik jika
komputer disamakan dengan mesin tik. Kinerja komputer bisa lebih hebat dari
itu, dan setiap saat selalu ada perkembangan teknologi baru. Komputer bukan
hanya sekedar mengetik di aplikasi Word dan Excel saja, tetapi apa yang aku
pelajari di kampus lebih seru lagi, membuat program, melakukan rekayasa
perangkat lunak, dan itu lebih asyik daripada urusan seni mengetik sepuluh
jari.
Aku
lulus Diploma Tiga tepat waktu dengan nilai cum laude dan menjadi
mahasiwa terbaik di angkatanku. Alhamdulillah, sungguh membanggakan dan orang
tuaku juga ikut senang dan bangga. Setelah itu aku bekerja di beberapa
perusahaan swasta selama tujuh tahun. Di tahun 2015 aku lulus tes CPNS dan saat
ini bekerja sebagai ASN di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan
merantau sendirian di ibukota.
Dua
tahun kemudian, aku melanjutkan studi Sarjana di salah satu kampus swasta
jurusan Sistem Informasi, kerja sambil kuliah. Dari pagi hingga sore hari aku
bekerja, kemudian sorenya lanjut ke kampus, belajar hingga malam hari. Capek
memang, tapi aku menikmatinya. Aku tipe orang yang haus akan ilmu. Tahun lalu,
Alhamdulillah, aku lulus beasiswa LPDP dan saat ini aku melanjutkan studi ke
jenjang pascasarjana di Telkom University.
Mitos
terhadap penyandang disabilitas menghadirkan bias dan stereotype tentang
ketidakmampuan mereka untuk bersekolah maupun bekerja. Aku ingin menunjukkan
kepada orang-orang yang dulu memandangku sebelah mata bahwa aku tak seperti
yang mereka pikirkan. Aku berdaya, aku mandiri, dan aku wanita yang kuat, dan
melaju menembus batas keterbatasan. Balas dendam yang manis kan!
1 comments
Sangaaat manis ❤️❤️❤️👍. Ini balas dendam yg harusnya dilakuin oleh Orang2 yg merasa down Krn direndahkan. Bukan dengan balas menyakiti, tapi membuktikan kalau kita mampu melakukan hal yg mereka anggab tidak mungkin.
ReplyDeleteIkut bangga membacanya mba 🤗
Silakan Berikan Komentar, Saran, dan Kritik Untuk Postingan Ini, yang sopan ya ^^ dan please jangan spam